Bibirku kini turun menyapu kulit putih di lehernya seiring telapak tanganku meraup bukit indah payudaranya. Tanpa berhenti membelai, telapak tanganku kini sudah berada pada sisi payudaranya. Oooch.., pasti nikmat sekali kalau saja kejantananku yang diurut, pikirku. Hanya itu yang keluar dari mulutnya. Dia memperhatikanku pada saat aku melabuhkan ciuman mesra ke punggung tangannya. Dia tampak terkejut ketika mendapatkan kejantananku yang tanpa penutup lagi. “Kamu telepon aku, kasih tahu kamu lagi dimana saat itu, lalu aku akan menjemputmu di sana, gimana?”, tanyaku lagi. Ternyata, dengan mengingat statusnya saat ini sebagai tunangan Yoga, Eksanti masih belum bisa menerima perlakuanku yang membawanya ke dalam cottages ini. Mata Eksanti terpejam. Eksanti mendapatkan kenikmatan yang sempurna. Eksanti tertegun sejenak memandangku, lalu matanya terpejam kembali ketika aku membuka pantalon warna hitam yang aku kenakan. Tanpa canggung lagi aku memeluk pinggang Eksanti, pada saat kami memasuki rumah makan tersebut. plash.. Di dalam rumah itu ada 4 kamar dan kamar Yoga yang paling pojok, berhadapan dengan kamar Eksanti. Sesampainya di sana, aku melihat garasi tempat mobil Yoga biasa diparkir dalam keadaan kosong yang menandakan Yoga sedang keluar. Eksanti membalas pelukanku dengan melingkarkan tangannya di pundakku. “Aku tanyam, kok malah balik nanya ke aku sih?”, ia bertanya dengan nada agak ketus.
